Rabu, 16 Juni 2010

KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM

KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM
“Bagaimana seorang perempuan akan dicela karena semata-mata ia perempuan, padahal bukan ia yang menciptakan dirinya sendiri, melainkan diciptakan oleh Allah swt ".
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah:
Bagaimanakah posisi perempuan dalam Islam? Sebelum membahas lebih lanjut mengenai posisi perempuan dalam Islam, sebaiknya kita membahas mengenai Islam itu sendiri.
Apakah Islam itu?
Islam berasal dari kata ‘aslama’ yang artinya pasrah atau patuh kepada Allah swt. Dalam Al Quran surat Ali Imran ayat 83 disebutkan bahwa “Apakah selain agama Allah yang mereka cari, padahal kepada-Nya telah Islam segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi dengan senang atau terpaksa, dan kepada-Nya semua akan dikembalikan.” Dengan ayat ini Allah menjelaskan bahwa segala sesuatu di langit dan bumi ini telah Islam kepada-Nya walaupun manusia masih mau mencari agama lain.
Namun demikian, kemerdekaan adalah hak asasi manusia, dan Allah swt sangat melarang pemaksaan dalam menentukan pilihannya sebagaimana tercantum dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 256:
لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٢٥٦)
256. Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
[162] Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t.
Ayat itu tegas menyatakan bahwa manusia tidak berhak sedikitpun memaksa manusia lain agar beriman, karena beriman atau kufurnya seseorang adalah mutlak urusan Allah dengan masing-masing hamba-Nya. Hak memilih Islam atau menolak ketentuan Allah hanya diberikan kepada manusia. Oleh karena itu, kemerdekaan adalah pembeda yang terpenting antara manusia dan mahluk Allah yang lainnya
Kemerdekaan atau kebebasan berpikir memang tidak dikekang oleh agama Islam. Hal itu menjadikan lahirnya berbagai mazhab menyangkut fiqh untuk mengatur kehidupan manusia yang tidak tercantum secara eksplisit dalam Al Quran dan sunnah Rasulullah saw. Beragamnya mazhab itu seharusnya menimbulkan pertanyaan, apakah memang fundamentalisme itu ada dalam Islam? Imarah (1999) menyatakan bahwa fundamentalisme itu sendiri berasal dari Barat oleh gerakan Kristen Protestan Amerika pada awal abad ke-19 masehi. Kaum fundamentalis di Barat adalah orang-orang kaku dan taklid (mengikuti secara mutlak) yang memusuhi akal, metafor, takwil (interpretasi) dan qiyas (analogi) serta menarik diri dari masa kini dan membatasi pada penafsiran literal nash-nash. Sementara kaum fundamentalis dalam peradaban Islam (ushuliyin) adalah para ulama ushul fiqh yang merupakan kelompok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka adalah ahli penyimpulan hukum, istidlal (pengambilan dalil), ijtihad (upaya mencari solusi atas suatu masalah) dan pembaruan.
Mereka adalah orang yang sangat terkenal dengan sifat keadilannya karena berpedoman pada firman Allah swt dalam Al-Qur'an Surat Al maidah ayat 8 sebagai berikut :
          •            •       
“Hai orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam ayat di atas, sangat jelas bahwa Allah swt memerintahkan segenap manusia untuk berbuat adil dalam setiap hal. Hal itu pula yang menjadikan Islam dalam semua syariatnya menjunjung tinggi prinsip keadilan Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai rahmatan lil alamin (agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta). Salah satu bentuk dari rahmat itu adalah pengakuan Islam terhadap keutuhan kemanusian perempuan setara dengan laki-laki. Ukuran kemuliaan seorang manusia di sisi Tuhan adalah prestasi dan kualitas takwanya, tanpa membedakan etnis dan jenis kelaminnya

Posisi perempuan dalam Islam
Yusuf Qardhawi (1995) sendiri menyatakan bahwa tidak ada satupun agama langit atau bumi yang memuliakan perempuan seperti Islam memuliakan, memberikan hak, menyayangi dan memeliharanya, baik sebagai anak perempuan, perempuan dewasa, ibu, dan anggota masyarakat. Islam memuliakan perempuan sebagai manusia yang diberi tugas dan tanggung jawab yang utuh seperti halnya laki-laki yang kelak akan mendapatkan pahala atau siksa sebagai balasannya.
Hal ini terlihat dalam ajaran normatif al Qur’an yang dengan tegas memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara di hadapan Allah SWT. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling kenal mengenal , kemuliaan manusia bukan dilihat dari jenis kelaminnya, tetapi dari ketaqwaaannya kepada Allah SWT, laki-laki dan perempuan sama-sam diibaratakan seperti pakaian . Keduanya harus saling melindungi dan menutupi kekuranggannya, laki-laki dan perempuan yang beriman dan memiliki prestasi amal shaleh, sama-sama akan mendapat jaminan di surge. Allah SWT juga akan mengabulkan permohonan, menghargai prestasi kerja dan tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Bahkan kaum laki-laki dan perempuan sama –sama disebutkan dan dipuji dengan sifat-sifat baik . Mereka dijanjikan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.
Allah swt berulangkali menyebutkan prinsip kesetaraan dalam Islam, di antaranya pada surat:
• Ali Imran ayat 195:
فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَأُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأُوذُوا فِي سَبِيلِي وَقَاتَلُوا وَقُتِلُوا لأكَفِّرَنَّ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَلأدْخِلَنَّهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ ثَوَابًا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الثَّوَابِ (١٩٥)
195. Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain[259]. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
[259] Maksudnya sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. Kedua-duanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.
• An Nahl ayat 97:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (٩٧)
97. Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
[839] Ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
• Al Ahzab ayat 35:
ِان الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (٣٥)
35. Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
[1218] Yang dimaksud dengan Muslim di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini ialah orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya.
• Al Hujurat ayat 3:
•               •   
3. Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka Itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.
• Al Baqarah ayat 187:
•         •   •                         •                                 ••   
187. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
[115] I'tikaf ialah berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.
• Al Nisa’ ayat 124:
            •    
124. Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, Maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.
• Ali Imraan ayat 195:
                            •   • •             • 
195. Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain[259]. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
[259] Maksudnya sebagaimana laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, Maka demikian pula halnya perempuan berasal dari laki-laki dan perempuan. Kedua-duanya sama-sama manusia, tak ada kelebihan yang satu dari yang lain tentang penilaian iman dan amalnya.
• Al Ahzab ayat 35:
•                           • •  
35. Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
[1218] Yang dimaksud dengan Muslim di sini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan larangan pada lahirnya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang mukmin di sini ialah orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan dengan hatinya.
Namun sangat disayangkan bahwa masih banyak umat Islam yang merendahkan kaum perempuan dengan cara mengurangi hak-haknya serta mengharamkannya dari apa-apa yang telah ditetapkan syara’. Padahal, syariat Islam sendiri telah menempatkan perempuan pada proporsi yang sangat jelas, yaitu sebagai manusia, sebagai perempuan, anak perempuan, istri atau ibu. Hal yang lebih memprihatinkan, sikap merendahkan perempuan tersebut sering disampaikan dengan mengatasnamakan agama (Islam), padahal Islam bebas dari semua itu

Jika dalam tataran normative –idealis, kaum perempuan dipandang setara dengan laki-laki, namun mengapa pada tataran historis-empiris posisi perempuan relative belum setara dengan laki-laki dan mengapa peranan mereka terasa masih terpinggirkan. Ini berarati masih ada kesenjangan anatara (baca : normative) dengan yang senyatanya (baca : historis).
Ada banyak factor penyebab mengapa kaum perempuan mengalami bias (ketimpanagn) gender, sehingga mereka belum setara,. Pertama, budaya patriarkhi. Kedua, factor politik, yang belum sepenuhnya berpihak kepada kaum perempuan. Ketiga, factor ekonomi di mana sitem kapitalisme global yang melanda dunia, seringkali justru mengeksploitasi kaum perempuan. Keempat, factor interpretasi teks-teks agama yang bias gender.
Islam hadir di dunia untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk ketidakadilan. Jika ada norma yang dijadikan pegangan oleh masyarakat, tetapi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan, norma itu harus ditolak. Demikian pula bila terjadi berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuan. Praktik ketidakadilan dengan menggunakan dalil agama adalah alasan yang dicari-cari. Sebab, menurut Al Quran, hubungan antar manusia di dalam Islam didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan, persaudaraan dan ke berakar dari pemahaman yang "keliru" dan bias patriarkhi terhadap sumber ajaran Islam, yaitu kemaslahatan.
Fiqh bias jender
Terjadinya bias patriarkhi,disebabkan oleh beberapa factor, anatara lain : Pertama, factor internal teks al Qur’an. Ia turun tidak dalam vakum cultural, melainkan ‘terbentuk’ dalam buadaya patriarch, yang kemudian secara tekstual meniscayakan “bias jender”, Kedua., factor metodologi penafsiran, Ketiga , factor eksternal, yaitu bahwa kebanyakan mufasirin itu berjenis kelamin laki-laki, sehingga kurang mengakomodir kesadaran kaum perempuan.
Menurut Riffat Hasan, adanya diskriminasi dan segala macam bentuk ketidakadilan gender yang menimpa kaum perrempuan dalam lingkungan umat Islam berakar dari pemahaman yang "keliru" dan bias patriarkhi terhadap sumber ajaran Islam, yaitu Kitab Suci Al-Qur'an.
Oleh sebab itu, dia menyerukan perlunya dilakukan dekontruksi pemikiran teologis tentang perempuan, terutama mengenai konsep penciptaan Hawa sebagai perempuan pertama. Mengapa demikian? Dalam bukunya Women"s and Men's Liberation dengan tegas ia mengatakan :
"Meskipun ada perbaikan secara statistic seperti hak-hak pendidikan, pekerjaan dan hak-hak social politik, perempuan akan terus menerus diperlakukan kasar dan diskriminasi, jika landasan teologis yang melahirkan kecenderungan misogimis dalam tradisi Islam itu tidak akan berarti apa-apa, jikamereka masih tetap dikondisikan untuk menerima mitos-mitos yang biasa dikemukakan oleh para pemimpin agamawan untuk membelenggu tubuh, hati, pikiran dan jiwa mereka. Mereka tidak akan pernah berkembang sepenuhnya atau menjadi manusia seutuhnya."
Anima Wadud menawarkan gagasan metoda tafsir tematik-holistic yang juga sebenarnya merupakan salah satu model pendekatan hermeneutic, dimana metoda itu selalu melihat secara kritis hubungan antara tiga aspek, yaitu : 1) Dalam konteks apa teks itu ditulis. Jika kaitannya dengan al-Qur’an, maka dalam konteks apakah ayat itu diturunkan (baca : asbab al nujuz) 2) Bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya, 3) Bagaimana pula keseluruhan teks (ayat) itu berbicara tentang tema tertentu, bagaimana pula pandangan hidupnya.
Dengan metoda tafsir tematik-holistik tersebut, maka ayat-ayat yang secara tekstual bias gender, seperti ayat pembagian hukum waris, persaksian, poligami dan sebagainya, dapat dijelaskan secara lebih kontekstual. Sehingga menurutnya, tidak ada alasan lagi sebagian orang Islam yang menganggap perempuan tidak setara dengan laki-laki namun keduanya mempunyai peranan yang sama dalam kedudukan dan saling melengkapi anatara yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Hasyim (2001), salah satu kelemahan fiqh yang ada selama ini adalah tidak adanya perspektif keadilan jender di dalamnya. Kita harus mampu bersikap kritis terhadap fiqh yang ada, tidak menerima apa adanya (taken for granted), tanpa mempertanyakan validitas informasi sahabat. Karena pandangan seperti ini berakibat meloloskan setiap hadis yang mutunya tidak baik, asal berasal dari sahabat besar. Dengan berpegang pada prinsip adil dan setara jender dalam Al Qur’an kita seharusnya bersikap kritis. Kritis dalam arti, setiap hadits yang dirasa bernada peyoratif, perlu dikaji dan ditelaah lebih lanjut, baik dari segi perawinya (sanad) maupun kandungannya (matan) haditsnya. Apakah benar memang Nabi Muhammad pernah berkata seperti itu, dan jika benar, apakah memang isinya seperti?
Hasyim (2001) juga menyatakan bahwa untuk melakukan perubahan (reinterpretasi) kita harus memiliki dua persepsi yang mendukungnya, yaitu pertama, fiqh (syariat) itu bukan Al Quran dan bukan pula sunnah sehingga tidak tertutup kemungkinan untuk dilakukan perubahan di dalamnya. Kita hanya boleh mengubah sampai pada tingkat reinterpretasi atas tafsir-tafsir Al Quran dan sunnah yang telah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu, bukan perubahan atas Al Quran dan sunnah itu sendiri. Lalu, kedua, fiqh (syariat) adalah hasil ijtihad manusia yang tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan yang sangat bergantung kepada konsep perubahan ruang dan waktu. Sebagai sebuah hasil proses interpretasi teks Al Quran dan sunnah Nabi saw melalui berbagai persyaratan metodologis dan intelektualitas yang sangat ketat sekalipun, pasti ada saja kelemahannya mengingat manusia secara fitrahnya memang terbatas, seperti ungkapan sebuah hadis populer “Manusia adalah tempatnya salah dan lupa.” Maka kekurangan dan kesalahan pada diri manusia adalah alamiah. Hal itu sangat mungkin terjadi pada fiqh yang merupakan hasil perumusan manusia. Maka sangat masuk akal dilakukan reinterpretasi atas fiqh, bukan untuk menggugat fiqh tetapi justru untuk mempertahankan fiqh. Namun demikian, tetap ada tentangan dari kalangan yang mempertanyakan kemampuan kita sebagai manusia yang tidak dilahirkan pada masa Rasul, sahabat, atau tabiin (orang shalih dari generasi setelah khulafaurrasyidin). Padahal, fiqh bukanlah agama, ia dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Selama ini fiqh terkesan tidak responsif terhadap gerakan pemberdayaan perempuan, padahal penyusunan fiqh perspektif baru akan menguntungkan dari dua segi, yaitu memperluas fiqh sebagai wacana yang tetap terbuka, dan memberikan kemungkinan untuk mengakomodasi setiap perkembangan baru.
Untuk reinterpretasi fiqh, teori maqashid al syariah (tujuan syariat) lebih memungkinkan dijadikan sebagai landasan reinterpretasi fiqh daripada yang lain karena memiliki dasar-dasar yang cukup kukuh. Tujuan syariat ini seharusnya merupakan tulang punggung bagi pembentukan konsep hukum fiqh dan semua wacana fiqh yang terbentuk harus sesuai dengan tujuan awal ini. Untuk itu, Hasyim (2001) menyebutkan ada empat prinsip yang harus diperhatikan dalam reinterpretasi fiqh yaitu:

1. Prinsip keadilan
Pembentukan wacana fiqh Islam tidak terlepas dari prinsip keadilan. Namun, fiqh kita tampak masih kental bias jender maskulinnya. Adanya bias ini menunjukkan satu sisi dari ketidakadilan fiqh itu sendiri. Prinsip keadilan dalam fiqh adalah adanya keseimbangan dalam memandang hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki secara proporsional, sesuai dengan hakikat asal kejadian kedua jenis manusia yang memang diciptakan sejajar (setara) dan seimbang oleh Allah swt.
Keadilan seperti ini sesuai dengan sifat Tuhan yang Maha adil, dan secara jelas dinyatakan dalam Al Quran bahwa Tuhan tidak pernah berbuat zalim. Al Quran sebagai firman Tuhan tidak bisa dijadikan sumber ketidakadilan kemanusiaan, dan ketidakadilan terhadap perempuan muslimah tidak bisa dipahami sebagai berasal dari Tuhan. Tujuan Islam adalah memantapkan keadilan di bumi.
Kesejajaran (kesetaraan) dan keseimbangan sebagai prinsip utama keadilan harus diagendakan dalam rangka pembentukan suatu fiqh baru yang berperspektif keadilan jender. Keadilan jender dimaksud adalah memandang setara (sejajar) dan seimbang kedudukan laki-laki dan perempuan, tidak berdasarkan pada perbedaan-perbedaan yang bersifat kodrati.
2. Prinsip kesetaraan (musawah)
Prinsip kedua yang harus ditegaskan dalam membangun fiqh perempuan adalah kesetaraan (musawah) dalam segala hal dan level kehidupan. Prinsip kesetaraan bukanlah menyamakan secata fisik, tapi menyamakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah swt. Sebab ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam agama banyak diciptakan oleh konstruksi sosial kultural, bukan oleh ajaran agama itu sendiri. Allah swt sendiri menyatakan bahwa semua hamba Allah adalah setara di hadapan-Nya, yang membedakan adalah nilai takwanya.
Riffat Hasan lebih jauh menjelaskan, dalam diskursus feminism, konsep penciptaan perempuan merupakan isu yang sangat penting dan mendasar untuk dibicarakan lebih dahulu, baik ditinjau secara filosofis maupun teologis dibandingkan dengan isu-isu feminism yang lain. Sebab, konsep kesetaraan (al-Musawa/equality) atau ketidaksetaraan dapat dilacak akarnya dari konsep penciptaan perempuan (baca : Hawa).
Asumsi dasar yang menjadi pijakan Riffat adalah bahwa jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan setara oleh Allah, maka dikemudian hari mestinya tidak berubah menjadi tidak setara. Jika kenyataannya kemudian berubah menjadi tidak setara, ini berarti menyalahi desain yang telah direncanakan dan ditetapkan Allah, Oleh karenanya, dalam konsep penciptaan perempuan perlu dikaji ulang apakah betul perempuan (Hawa) hanya merupakan derivasi saja dari dan hanya sebagai pelengkap. Artinya, secara substansial perempuan dengan laki-laki tidak setara.
Kesimpulan dari telaah Riffat Hasan mengenai kedudukan perempuan adalah bahwa Allah SWT betul-betul Maha Adil, tidak membedakan/Mendiskreditkan perempuan dan laki-laki. Bahkan menurut Riffat Allah SWT tampaknya lebih peduli kepada perempuan. Karena Allah SWT lebih memberikan perhatian kepada mereka yang terpinggirkan, para janda, anak-anak yatim, kaum budak dari pada mereka yang akaya membuat pembedaan atau diskriminasi perempuan dan laki-laki.
3. Musyawarah (syura)
Dalam dunia modern, konsep tentang syura ini sering diidentikkan dengan demokrasi. Mungkin keduanya memiliki perbedaan, namun bukan berarti tidak ada kesamaan antara keduanya, terutama dalam praktiknya. Salah satu kesamaan yang paling penting adalah bahwa keduanya sama-sama melakukan penyerapan terhadap aspirasi masyarakat dan pengambilan keputusan tidak hanya didasarkan kepada pendapat satu orang tetapi mengikuti suara yang paling masuk akal atau mendapat dukungan terbanyak. Konsep syura tidak hanya berguna untuk hal-hal yang bersifat makro (kehidupan publik) seperti urusan politik kenegaraan, tetapi ia juga berguna untuk hal-hal yang bersifat mikro (kehidupan privat), misalnya dalam kehidupan keluarga. Dalam konteks kehidupan keluarga sangat diharapkan bahwa syura ini menjadi mekanisme penyelesaian atas konflik yang mungkin terjadi. Dalam kaitannya dengan agenda rekonstruksi fiqh baru yang berperspektif jender, konsep syura juga diharapkan memberikan sebuah platform epistemologis bahwa sebuah ilmu harus disusun berdasarkan prinsip-prinsip yang demokratis, artinya bebas dari bias-bias tertentu, termasuk bias jender.
4. Mu’asyarah bil ma’ruf
Mu’asyarah bil ma’ruf merupakan tindakan yang memanusiakan manusia karena prinsip ini menganggap semua manusia harus diperlakukan dengan baik, terutama dalam hubungan suami istri. Ma’ruf tidak hanya memiliki makna kebaikan (khair), tetapi juga berisi kebaikan yang memperhatikan partikularitas dan lokalitas. Pemberlakuan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf ini, sekaligus menjadikan partikularitas yang berkaitan dengan karakter perempuan sedikitnya bisa dipahami.
Penutup
Dengan demikian, jelaslah bahwa posisi perempuan dalam Islam adalah setara dengan laki-laki. Sikap merendahkan perempuan sama sekali tidak tergambar dalam Al Quran maupun sunnah Rasulullah saw. Jikapun ada, maka hal itu kemungkinan dipengaruhi oleh pola patriarki dalam masyarakat arab yang semakin meningkat pasca meninggalnya nabi.
Islam (AL-Qur'an) sesungguhnya sangat apresiasif terhadap dan tidak diskriminatif terhadap perempuan. Al-Qur'an sesungguhnya mendudukan posisi perempuan setara dengan laki-laki di hadapan Allaoh SWT. Karena keduanya diciptakan dari jenis yang sama dan yang membedakan mereka hanyalah taqwanya.
Menurut Riffat Hasan, adanya anggapan bahwa Islam ini tampak diskriminatif, atau bahkan misoginis terhadap perempuan disebabkan oleh asumsi-asumsi teologis yang keliru. Hal ini disebabkan oleh adanya penafsiran-penafsiran yang bias patriarkhi dan juga oleh pengaruh-pengaruh tradisi Yahudi-Kristen yang masuk lewat hadits-hadits yang dikategorikan sebagai hadis berbau Isra'iliyat
Dengan prinsip-prinsip dasar yang telah dikemukakan di atas, kita bisa mengembangkan fiqh baru yang tidak hanya memihak kepada perempuan, tetapi juga kepada laki-laki. Untuk jelasnya konsep rekonstruksi fiqh berperspektif jender, terutama dalam bidang kesehatan reproduksi dan seksualitas,















DAFTAR PUSTAKA

Abdulrahim, Muhammad Imaduddin. Islam Sistem Nilai Terpadu. Jakarta: Gema Insani Press, 2002
Abdul mustaqiim, Paradigma Tafisr Feminis, Logung Pustaka, Yogyakarata: 2008

Abdul Mustaqim-Syahiron Syamsudin, Study Al-Qur'an Kontemporer, PT Tiara Wacana, Yogyakarta: 2002
Hasyim, Syafiq. Hal-hal yang Tidak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam: Sebuah Dokumentasi. Bandung: Mizan, 2001
Imarah, Muhammad. Fundamentalisme dalam Perspektif Pemikiran Barat dan Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1999
Qardhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2. Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, "Keadilan dan Kesetaraan jender (Perspektif Islam", Jakarta: Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI, 2001.
Syaamil Al-Qur'an, Terjemahan Type Hijaz, Syaamil : Yogyakarta: 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar